Ritme Hidup

Ibarat roller coaster, ritme hidup saya akhir-akhir ini cukup berantakan, moodnya jadi naik turun tidak karuan sesuka hati. Tapi setidaknya saya tidak sendiri karena ternyata S juga mengalami hal serupa. Katanya seperti sedang mengalami jet lag berkepanjangan.

Libur Idul Fitri di kantor saya mulai dari tanggal 22 Juni sampai 2 Juli 2017, masuk kerja kembali tanggal 3 Juli 2017 jadi kalau ditotalkan saya punya jatah libur 11 hari. Kerjaan sebelum liburan itu benar-benar menguras tenaga dan emosi apalagi yang berhubungan dengan uang dan analisis data. Sebelum libur itu saya terus-menerus menyemangati diri sendiri kalau libur akan segera tiba.

Awalnya saya dan S berencana menghabiskan liburan kami di Jakarta karena kami berdua memang kurang suka berlibur di peak season. Kami juga ingin berhemat sebab banyak sekali pengeluaran tidak terduga setelah kami menikah, mostly about our parents. Di sisi lain, kapan lagi bisa menikmati sepinya Jakarta kalau bukan pas libur Idul Fitri? Namun rencana tinggal rencana sebab kami akhirnya memutuskan untuk membeli tiket PP Jakarta – Pontianak – Jakarta, flight tanggal 22 Juni siang dan 29 Juni malam. 

Trigger kepulangan kami adalah sakit stroke yang dialami si papa. Kabar ini pertama kali datang sekitar 3 bulan yang lalu tetapi saya dan S tidak bisa langsung pulang karena terbentur prosedur perusahaan kami masing-masing sehingga kami memutuskan untuk pulang kesana di libur Idul Fitri. Jika boleh jujur, saya tidak merasa kaget ketika mendengar kabar ini, mungkin karena saya tidak memiliki hubungan dekat dengan papa seperti hubungan saya dengan mama tetapi saya – dan S – merasa tidak ada salahnya jika kami pulang menjenguknya sebentar sekalian melihat perkembangan kondisi mama saat ini.

Stroke yang dialami papa masih dalam kategori ringan tetapi menyerang anggota tubuh sebelah kanan dari atas hingga bawah. Awalnya papa cukup mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas dasar seperti mandi dan makan sehingga harus dibantu oleh orang lain. Papa memilih akupuntur daripada dokter untuk pengobatannya, katanya banyak orang stroke sembuh lewat akupuntur. Saya lihat hasil pengobatannya selama ini bisa dibilang baik karena papa sudah mengalami perkembangan lebih baik juga, sisa jari-jari di tangan kanannya yang belum kembali normal seperti semula.

Tapi dasar keras kepala, papa memilih untuk stop berobat saat ini dengan alasan lokasi jauh dan buang-buang biaya. Entah berapa banyak orang sudah menasehati papa soal ini, maksudnya supaya papa meneruskan pengobatan yang tinggal sedikit lagi itu karena sehat itu (maha) penting sekali tetapi papa tetap tidak mau. Jangankan melanjutkan pengobatannya, diminta untuk memainkan kacang atau kelereng atau hand grip stress ball menggunakan jari-jari tangan kanannya saja dia juga tidak mau karena katanya tidak berguna sama sekali.

Kalau soal si mama beda lagi. Setelah didera oleh depresi akut (bisa dibaca disini), kondisi mama sempat menunjukkan perkembangan baik selama beberapa minggu ke depannya, hal ini ditunjukkan dengan mampunya mama untuk beraktivitas dan bersosialisasi kembali seperti biasanya. Namun di awal Juni kemarin mama kembali mengalami penurunan semangat. Mama hanya ingin tidur terus menerus, malas napa-napain katanya. Sehari-harinya mama masih bisa menanak nasi, menjemur pakaian yang dicuci, makan dan minum, tetapi akan balik ke kamar untuk tidur secepat mungkin.

Saya dan beberapa anggota keluarga berpendapat kalau mama sepertinya kaget dengan sakit stroke yang tiba-tiba dialami si papa karena seharusnya mama masih dalam masa recovery. Sama seperti papa yang menolak ke akupuntur, mama pun mulai menolak ke dokter yang biasa dikunjungi karena mau tidur saja katanya. Menurut mama, tidur itu nikmat sekali. Baik mama dan papa juga menolak untuk berobat di Kuching (FYI, masyarakat Pontianak dan sekitarnya sering berobat ke Kuching sejak dulu) atau di Jakarta.

Kalau boleh jujur, saya dan S sebenarnya sudah bingung harus bersikap seperti apa lagi terhadap mama dan papa. Kami ingin keduanya menjalani pengobatan yang lebih baik tetapi mereka menolaknya dengan alasan ini dan itu. Ah iya, saya lupa cerita kalau nenek saya – yang usianya sudah lebih dari 80 tahun – sampai konsultasi soal mama dengan dukun Chinese yang disebut “laoya”. Nenek khawatir kalau mama ‘diguna-guna’ pihak tertentu sampai bersikap seperti ini. Hasil konsultasi nenek tidak berbeda dengan hasil konsultasi mama ke dokter dulu, yaitu mama tidak apa-apa secara fisik namun terlalu banyak pikiran. Hanya mama yang bisa mengontrol pikirannya itu.

Saat ini saya dan S hanya bisa berharap jalan terbaik untuk semua hal yang sedang kami hadapi termasuk S yang sedang menghadapi masalah di pekerjaannya. Politik dalam bekerja merupakan hal yang selalu kami benci tapi kami sadar kalau hal itu akan selalu ada. Satu hal yang pasti, saya dan S selalu berusaha melakukan hal terbaik yang bisa kami lakukan, dan kami meyakini akan hikmah di balik setiap hal yang terjadi. Saya juga bersyukur karena masih banyak yang peduli dan masih mau belajar untuk memahami kondisi kami. Pihak-pihak yang menghujat pasti akan selalu ada juga tapi saya tidak terlalu mau peduli dengan mereka. Mereka punya hak untuk bicara apa saja dan saya juga punya hak untuk tidak mendengarkan mereka. Saya dan S lebih suka dikelilingi oleh 5 orang yang mendukung kami daripada 10 orang yang menghujat kami. Yah, semoga semuanya segera membaik.

In the rhythm of life, we sometimes find ourselves out of tune but as long as there are friends to provide the melody, the music plays on.

Featured image = via

 

Rgds,

Ws 😉

28 comments

  1. Wien, semoga kondisi orang tua bisa membaik ya, atau papa / mama bisa dibujuk untuk berobat. Memang susah orang tua kadang bisa lebih bandel daripada anak2. Mama papaku juga begitu paling susah diajak ke dokter kalau sakit.

    Like

    • Iya aku juga berharap mereka mau meneruskan pengobatan mereka, itu bisa bikin aku lega dikit daripada engga berobat sama sekali lagi. Thank you ya Va!

      Like

  2. Ikut berdoa untuk keluargamu dan orangtuamu ya Wien. Semoga keadaan semakin membaik buat kalian dan kondisi kesehatan orangtua semakin membaik juga. Semoga dibukakan jalan supaya orangtua mau berobat untuk kesembuhan mereka juga.

    Like

  3. Wien, turut prihatin dengan apa yg sedang kamu hadapi.. Semoga ortumu kembali mau berobat dan bisa sehat kembali, dan semua permasalahan berat segera terselesaikan dgn baik.. Aamiinn.. Kebetulan baru saja aku ngalamin situasi serupa tapi tak seberat situasimu.. Sudah setahun ini ibuku sering ngeluh soal kesehatannya. Trus aku nyaranin supaya periksa lebih detil tapi beliau ogah-ogahan. Padahal (bukannya sombong atau gimana) aku udah aku bilang gak usah khawatir soal biaya kalo misalnya ada yg gak ditanggung BPJS. Dan puncaknya minggu lalu beliau masuk UGD, trus dirawat karena anemia gravis yg parah sehingga perlu transfusi darah sampe 7 kantong.. Mana stok darah abis di mana-mana, maklum bulan puasa jarang yg donor. Tapi sekarang udah di rumah, udah mendingan.. Ya gitu ortu kadang-kadang.. Eh maaf ya jadi curcol..

    Like

  4. Kadang emang susah untuk memahami pikiran ortu ya… Padahal pengobatan itu kan emang takes time…

    Ya moga moga abis ini bokap nyokap lu bisa membaik kondisi nya dan sehat sehat selalu ya…

    Like

Thank you for your comments