Love and Lust

Dari judulnya saja, mungkin kamu sudah bisa menebak arah dari artikel saya kali ini. Saya mengetik artikel ini setelah saya membaca salah satu blog dari Ci Leony. Entah kenapa, blog tersebut memiliki sedikit banyak similaritas dengan apa yang sedang dialami oleh teman-teman dekat saya. Tangan saya cukup tergelitik untuk membahas hal ini, dan – daripada saya tidak bisa tidur nanti malam – saya memutuskan untuk bertanya kepada teman-teman saya tersebut, apakah kejadian mereka boleh dishare di dalam blog saya. And thanks God, mereka bersedia dengan catatan namanya tidak dimasukkan.

LoveLust (www.blackloveandmarriage.com)
LoveLust (www.blackloveandmarriage.com)

Love and lust.. Bagi saya pribadi, cinta dan hawa nafsu memiliki perbedaan yang cukup tipis. Satu-satunya hal yang menyakinkan saya bahwa keduanya memiliki perbedaan yang cukup besar adalah cinta (sesungguhnya) berasal dari dalam hati dan Tuhan, dan hawa nafsu lebih banyak berasal dari dalam otak manusia.

Ketika hati dan otak sudah ‘bertarung’ untuk menentukan mana yang lebih baik, maka hal yang tidak mungkin pun dapat menjadi mungkin. Jika hati memenangkan ‘pertarungan’ itu, maka niscaya cinta menjadi raja dari segalanya, dan segala sesuatu yang dilakukan pun benar-benar berdasarkan cinta, bukan nafsu. Vice versa, jika nafsu yang menjadi ‘pemenang’, maka tendensi untuk menguasai segala sesuatu tanpa cinta pun menjadi hal yang sangat mungkin untuk dilakukan.

Dan… ada seorang teman yang tidak setuju dengan pendapat saya tersebut. Sebut saja namanya Q. Untuk ukuran pria berusia 28 tahun, dia memiliki wajah rupawan dengan body atletis yang bakal membuat kagum mata para wanita – dan “priya” 😛 (hey you, if you’re reading this, stop laughing! :D) Sebagai seorang lulusan master di bidang finansial, Q mempercayai sebuah hal = there is no love but lust, only lust. Baginya, segala sesuatu dapat dibeli, termasuk cinta. Well, I don’t want to bet on it, setiap orang berhak memiliki pemikirannya sendiri.

Acapkali berganti pasangan, dia – yang masih single sampai saat ini – akhirnya menemukan seorang wanita yang menurutnya sudah berhasil mengenalkan arti “cinta tanpa uang” dalam hidupnya. No, wanita itu bukan ibunya, wanita ini benar seorang wanita yang merupakan mantan clientnya. Q mengatakan bahwa dia fell in love dengan mata si wanita tersebut, for the first time.

Q mulai mencoba untuk mendekati wanita ini, mulai dari perkenalan singkat, bertukar nomor HP, ajakan makan siang, dan ajakan makan malam. Wanita ini mungkin hafal dengan gelagat playboy seperti Q, dan dia tidak pernah mengatakan “iya” untuk semua ajakan makan dari Q. Bukan Q namanya kalau ditolak seperti itu, dia pun melancarkan aksi bujuk rayu ke wanita tersebut, sampai mengirimkan bunga.

Saya pun ‘diteror’nya sekadar ditanyakan “apa yang harus dia lakukan supaya si wanita mau makan siang dengannya”. I still remember, saat itu saya hanya mengatakan “do your best”, dan “do your best“nya pun diwujudkan dengan mendatangi kantor si wanita. Namanya wanita yah, ada titik rasa “engga enaknya”, dan Q pun berhasil mengajak dia makan siang. Makan siang pun berlanjut ke makan malam, dan Q mengatakan kepada saya bahwa dia menyukai wanita ini (baca yah, menyukai bukan mencintai) karena dia tidak mau diperlakukan sebagaimana wanita ingin diperlakukan.

Maksud Q disini, si wanita tidak mau menerima apapun yang Q belikan atau berikan untuknya. Q itu orangnya royal sekali, terlalu royal mungkin. Sejak kecil, dia salah satu teman saya yang selalu menganggap bahwa barang mahal selalu membawa kebahagiaan, dan dia engga masalah untuk membelikan apa saja yang seorang wanita inginkan, mulai dari pakaian branded, perhiasan, tiket liburan, smartphone, dll, dan dia membelikan banyak barang untuk wanita itu, tapi semuanya ditolak sama si wanita. Kali ini benaran ditolak loh, sampai Q mengatakan kalau dia akan mencintai wanita ini jika dia mau menerima 1 barang pemberian Q saja. See?

Makan malam pun berlanjut ke makan keluarga karena Q didesak oleh ibunya untuk mengenalkan wanita itu. FYI, keluarga Q masih memegang penuh aspek “bibit, bobot, bebet”. Q mati-matian minta agar si wanita mau mengenakan segala macam pakaian dan perhiasan branded yang sudah Q beli supaya brand image si wanita dapat tertanam baik di otak keluarganya. Tapi si wanita engga mau loh, dia menolak semua yang Q belikan, dia hanya mengenakan dress dan perhiasan seadanya. Q mengatakan pada saya kalau perasaannya kurang enak, sepertinya keluarganya tidak menyukai wanita ini, and guess what?

Ternyata dugaan Q tepat sekali. Ibunya menganggap wanita ini hanya “wanita kelas biasa, tidak berpendidikan tinggi”. Adik Q menganggap wanita ini “tidak fashionable sama sekali, hanya staff biasa, belum jadi middle level staff“. Ayahnya? No comment. Malam itu juga, hubungan Q dengan wanita ini berakhir, karena si wanita menganggap keluarga Q sudah merendahkan harga dirinya. Tetapi, malam itu juga Q menyadari bahwa wanita ini memberikan banyak cinta untuk Q, karena si wanita mengatakan bahwa dia mencintai Q karena Tuhan bukan karena harta titipan Tuhan yang diberikan kepada Q.

Malam itu juga Q telepon saya sambil nangis-nangis, and to be honest, itu kali pertama saya mendengar Q menangis. Sejak malam itu juga, Q akhirnya percaya bahwa cinta itu benar adanya. Sampai saat ini, Q masih berjuang untuk mendapatkan si wanita kembali, meskipun keluarga Q masih menentang hal tersebut. Be strong, dude. Keep lean on God, and He will make it possible 🙂

Kalau cinta itu benar adanya, maka nafsu pun benar adanya. Kejadian ini saya alami sendiri. Sebut saja dia N. Kisah perkenalan saya dengan N berawal dari “salah sambung”. Yaph, salah sambung di telepon itu pun berlanjut ke perkenalan di Friendster. Ternyata N adalah temannya teman saya, dan cerita kami pun berlanjut ke pertemuan secara langsung bersama temannya yang ternyata adalah teman kuliah saya. Saat itu, saya baru naik semester tiga, dan N – katanya – sedang cuti kuliah di T******* karena sibuk di salah satu klub basket nasional dan sibuk membantu bisnis papanya.

Yeshe was one of the well-known basketball player, dan dia merupakan anak tunggal dari keluarga pemilik pabrik tekstil. Singkat cerita, N akhirnya menjalin hubungan dengan saya sekitar 8 bulanan.

Selayaknya hot hot chicken sh*t, awalnya hubungan kami berjalan begitu manis semanis gula 😛 tetapi lambat laun menjadi sangat hambar sehambar sayur tanpa garam, haha. Terlalu melebih-lebihkan? I don’t think so, itulah faktanya. Dari yang awalnya menelepon saya berjam-jam sampai kuping saya panas menjadi tidak ada kabarnya sama sekali. Saat menyadari dia mulai tidak ada kabarnya, saya menjadi ikutan sibuk mencarinya juga, mulai dari ke rumah sampai ke teman-temannya.

Mbak di rumahnya bilang kalau “Den ke luar kota, Non”, dan teman-temannya bilang “N lagi cuti ke Aussie sama bokapnya”. Pada akhirnya, N “muncul” kembali sambil minta maaf dan mengatakan bahwa dia sibuk sekali, tetapi semua itu berulang terus-menerus. Sekali, saya maafkan. Dua kali, saya maafkan. Tiga kali, wah ini engga beres, saya maunya kepastian, sebenarnya hubungan ini mau dibawa kemana, kalau bawa saya ke Germany or Ireland saya siap, tapi saya engga siap kalau dibawa ke dalam jurang di Puncak (halah apa si?) Mungkin karena zodiak saya ini Leo dan shionya saya Naga, jadi saya maunya kepastian yang pasti. Waktu dia “muncul” kembali, saya minta break sama dia, kita jadi teman saja. N diam, tidak bilang iya atau tidak, tapi saya sudah anggap iya.

Selang dua minggu, dia sms saya, bilang kalau dia harus pisah dengan saya karena orangtuanya mau menjodohkan dia dengan perempuan dari relasi papanya. See? Mata saya langsung sembab karena saya merasa hanya saya yang berusaha mempertahankan hubungan saya dengan dia, sedangkan dia memperlakukan saya seperti “anak kuliahan yang masih cupu”.

To be honest, saya seperti mendengar suara mama lewat Tuhan saat itu, bahwa saya harus selalu survive dalam kondisi apapun, tidak boleh cengeng apalagi direndahkan, harus tegar iman dan tegar hati. Sejak saat itupun saya bertekad tidak mau tahu apapun lagi soal N.

Tahun-tahun berlalu, dan beberapa bulan belakangan ini nama N kembali hadir dalam kehidupan saya. N sudah bercerai dengan istrinya, istri yang memberikannya satu orang putra. Oleh karena nomor handphone saya sudah diganti, N mencari saya lewat teman saya, tapi saya menolak berbicara dengannya. Bukan karena saya tidak menghargai usahanya, saya hanya tidak mau menciptakan masalah baru.

Teman saya mengatakan bahwa N tidak mencintai istrinya, dia dipaksa menikah karena orangtuanya terikat kontrak dengan orangtua si istri. N mengatakan bahwa sebelum pisah dengan saya, dia merasa sangat tertekan karena masalah ini. Lantas saya bertanya ke teman, “N mengatakan dia tidak mencintai istrinya tetapi istrinya kog bisa melahirkan?” Kata teman saya, N mengatakan bahwa “anak adalah hasil nafsunya terhadap si istri, bukan hasil cinta”.

Teman saya juga mengatakan kalau N bersedia melakukan dan membelikan apa saja yang saya minta, asalkan saya mau menjalani hubungan lagi dengan dia, karena N merasa dia sangat mampu (secara finansial) dan – katanya- N menyukai saya.

Did I impress? No, not at all.

Saya malah kesal, kecewa, dan marah karena dia memberikan jawaban seperti itu mengenai istri dan anaknya. Meskipun dia mengatakan bahwa dia akan menanggung biaya hidup istri dan anaknya setelah bercerai, saya tetap tidak suka dengan jawabannya. Seolah-olah istri dan anaknya tidak bisa hidup tanpa uangnya dia saja.

Lebih dari itu, N adalah seorang Katolik yang notabene tidak mengijinkan adanya perceraian dalam sebuah pernikahan. Btw, teman saya merekam pembicaraannya dengan N, jadi semua itu memang perkataan N, bukan perkataan teman saya. Dari sini saya semakin yakin, nafsu itu selalu ada dalam diri manusia, dan perbedaannya sangat tipis dengan cinta.

Lain lagi dengan R. Teman saya yang ini sudah mengabdikan dirinya kepada Tuhan melalui jalan sebagai seorang pastor, namun ada sebuah cerita yang menjadi alasannya untuk melakukan hal tersebut. Dulu saya pernah mempunyai seorang teman bernama A, dan A menjalin hubungan dengan R yang memiliki usia lebih tua 2 tahun. Hubungan yang dijalani oleh A dan R benar-benar mampu membuat siapapun takjub dan – mungkin – cemburu. Mereka menjalani hubungan lebih dari sekadar puppy love atau “cinta monyet”. Saling mendukung dan saling menghargai satu sama lain merupakan kunci hubungan mereka saat itu.

Suatu hari, A jatuh sakit, benar-benar sakit sampai badannya lemah sekali, bahkan sampai mimisan beberapa kali. Karena berasal dari keluarga dengan ekonomi baik, A pun dibawa berobat ke Singapura. Ternyata A divonis menderita leukimia tingkat lanjut, dan dokter mengatakan bahwa dia mungkin hanya bertahan beberapa bulan, kecuali jika dia mendapatkan donatur untuk pencangkokan sumsum tulang.

Saya masih ingat bagaimana gelisahnya R mendengar kabar tersebut. Setiap hari dia menyempatkan diri untuk mendoakan A secara khusus di gereja, dan dia pun berusaha mencari tahu mengenai leukimia. Saat itu, fasilitas internet belum secanggih saat ini, dan buku-buku ilmiah mengenai leukimia pun belum sebanyak saat ini. Namun, semua keterbatasan tersebut tidak menyurutkan semangat R untuk mempelajari tentang leukimia.

Masalah lain bertambah ketika A tidak mau dicarikan donatur untuk pencangkokan sumsumnya. Dia bersikeras mengatakan bahwa dia tidak mau hidup karena sumsum orang lain. Orangtua A begitu pasrah mendengar kabar ini, begitu juga dengan R, sampai R diboyong ke Singapura hanya untuk membujuk A supaya dia tetap semangat hidup dan mau menerima donasi.

Usaha itupun gagal sebab A tetap tidak mau. Dia sampai mengatakan kepada R, jika R memang mencintainya, R harus menerima dia apa adanya, termasuk pilihannya. Dalam pergumulannya itu, R sempat merasa bahwa Tuhan seperti meninggalkan dia karena tidak ada titik terang untuk semua masalah ini. Dia merasa Tuhan mengujinya terlalu berat, dan tidak merasa bahwa dia masih sanggup menjalaninya. Tapi saya tetap salut dengan R. Dia bercerita kepada saya bahwa dia tetap berusaha mempercayai dan mengandalkan Tuhan.

Dengan terpaksa, dia menerima keinginan A untuk tidak mencari donasi, dan tetap mendorong A untuk hidup lebih lama. Tuhan memang adil, A diberikan umur lebih panjang 2 tahun lebih daripada yang diprediksi oleh dokter, hampir 3 tahun malah. R yakin dan percaya, mukjizat ini terjadi sebab cinta antara dia dan A mengalahkan segala sesuatu yang diramalkan manusia, bahkan oleh dokter sekalipun. Meskipun dia harus kehilangan A untuk selama-lamanya, R selalu percaya bahwa cintanya untuk A selalu ada sampai saat ini.

Meskipun A lebih menginginkan R untuk mencari wanita baru, tetapi R tidak mau karena – katanya – dia hanya mencintai A, tidak mau belajar untuk mencintai wanita lain. Untuk itu, dia memutuskan untuk masuk ke seminari, bukan untuk melarikan diri dari kehidupan percintaan dengan wanita lain, tetapi untuk lebih mencintai A lewat cintanya kepada Tuhan. And kali ini saya bisa kembali mengatakan bahwa cinta itu benar adanya.

Saya pribadi belum menikah dan saya pun bukan pakar cinta dan nafsu. Saya hanya mencoba membagikan apa yang saya pikirkan, rasakan, dan alami semenjak saya masih kecil. Manusia dianugerahkan banyak berkat, dan semuanya itu baik. Kalaupun ada orang yang mengatakan nafsu itu buruk, menurut saya nafsu bisa berubah menjadi baik pula. Semua itu kembali lagi ke orangnya, apakah dia ingin hidup dalam nafsu yang baik atau nafsu yang buruk.

Rgds,

Ws 😉

6 comments

  1. Hi Wien, tadi baru dikasih tau temen saya, kalau katanya ada yg mentioned blog saya di tempat kamu hahahahah.. *halah serasa org ngetop aja*. Tulisan ini tuh bener-bener menggambarkan, kalau yang namanya bukan cinta yang sejati dari kedua belah pihak (misalnya yang satu cuma berusaha sendiri) yang ada nanti jadi bego beneran. Persis kayak yang saya tulis di link tautan itu. Cinta itu susah sekali yang namanya instant, semuanya itu butuh process. Kalau baru 2 hari kenalan ngaku cinta, itu sudah jelas… lust 🙂

    Like

    • Hai Ci Leony, thanks sudah mampir and comment *mendadakhappydikomensamaorangngetop* 😀
      Iya ci, saya juga percaya kalau segala sesuatunya harus melalui proses, termasuk masalah cinta mencinta (bahasaku ketinggian benar ya?)
      And, ngomongin soal (alm) Ade Sara, saya agak sedih karena vonis para pembunuhnya kecil banget, hikshiks.. Semoga pihak keluarganya Ade bisa merasa bahwa vonis itu setimpal untuk kematian anak mereka, amin.
      Btw, salam kenal ya ci, semoga bisa tetap BW ke blogmu, seperti yang dilakukan oleh salah satu teman kantor saya.. Dia titip salam buat Ci Leony, as one of your loyal reader 😀

      Like

    • Hai Ci Dina. Thanks sudah nyasar ke blog saya.
      Ekstrim yah? Haha 😀
      To be honest, saya engga merasa cerita mereka ekstrim si, karena masih banyak cerita teman yang lebih ekstrim daripada mereka, haha.. Cuma saya bersyukur bisa menjadi “saksi hidup” mereka, karena dari mereka saya jadi bisa belajar banyak hal juga 🙂

      Like

  2. what a touching article! segala sesuatu yg berhubungan sama ‘hidup’ dalam arti universal, memang abstrak, termasuk “cinta” & “nafsu”. tp scr pribadi aku krg sepakat kalau “nafsu” berasal dari kerja otak, walaupun mungkin bisa dibuktikan secara ilmiah, tp menurutku yang namanya “nafsu” itu sifatnya abstrak, bahkan kdg sulit utk didefinisikan secara pasti, sama halnya cinta. Sekarang aku juga masih bingung mendefinisikan arti dari kedua hal itu, mungkin ga bakal nemuin artinya secara konkrit, tapi artikel ini ngasi pandangan dan pemahaman lain lagi. Keep writing ce! God bless

    Like

    • Hai. Thanks ya sudah mampir and comment. Hehe.
      Kalau menurutku engga usah bingung supaya kamu bisa menemukan artinya nanti tanpa dipaksa.
      Thanks for the support too 😉

      Like

Thank you for your comments