Emotions

“Your emotions are the slaves to your thoughts, and you are the slave to your emotions”kata Elizabeth Gilbert yang terkenal dengan buku “Eat, Pray, Love” tersebut.

Monthlies saya sudah lewat sekitar dua minggu yang lalu tetapi entah mengapa saya merasa masih dikuasai oleh hormon-hormon jahat ini selama beberapa hari belakangan. Ceritanya saya – yang amat sangat jarang bersentuhan dengan BBM – mengganti foto profil dan status di BBM. Foto profilnya biasa saja tetapi statusnya agak tidak biasa : “Otaknya masih berfungsi normal kan? So think before you speak :)”

Pada akhirnya, status tersebut mampu ‘memancing’ respon BBM dari cukup banyak orang dalam waktu 30 menit saja. Komentarnya bermacam-macam, dari yang sekadar bertanya “kenapa lu, Wien?”, “is everything okay?”, “lagi marahan sama siapa?” sampai “justru mau normal / engga pasti bisa ngomonglah, kecuali bisu”. Hard to say but I know I’m not in the good mood. I do realize about it.

Salah satu teman baik saya pernah mengibaratkan “seperti membangunkan macan tidur” ketika emosi saya muncul. Entah saya harus senang atau sedih mendengar kalimat seperti itu. Btw, emosi yang saya bahas disini berkaitan dengan tingkat kejengkelan atau kemarahan saya terhadap seseorang / sesuatu. Sebenarnya saya selalu berusaha untuk mengontrol kadar emosi itu karena saya tidak suka marah-marah. Selain karena – katanya – saya cukup menakutkan jika sedang marah, saya juga merasa kekurangan tenaga dan letih setelah marah. Jika salah, saya lebih suka ditegur daripada dimarahi oleh orang lain. Tapi gimana yah, saya juga manusia yang bisa marah *alibi* 😛

“Tidak ada asap kalau tidak ada api”; kadar emosi ini tidak mungkin naik tanpa sebab. Kalau dipikir-pikir kembali, hampir semua penyebabnya adalah rasa kecewa. Yes, disappointment. Fase awalnya masih bisa “nrimo”, yawis masih ada waktu, lihat progressnya dulu. Fase keduanya mulai memunculkan ‘medan perang’ antara pikiran yang satu dan yang lainnya, mulai dari “don’t blame other people for disappointing you, blame yourself from expecting too high” atau “disappointment is one of His way of showing ‘I have something better than this’, you just need to be patient” atau “sakarepmulah, sudah biasa makan hati kayak begini”. Kadar emosi mulai naik deh di fase ketiga.

Saya bukan orang yang perfeksionis dan saya paham benar bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, tapi salahkah jika saya mencoba menyimpan harapan? Bukan harapan tentang kesempurnaan melainkan harapan agar orang lain dapat memahami (sebagian besar) dari apa yang kita harapkan. Bukankah kita boleh menyimpan harapan (baik) selama kita masih hidup? Tapi begitulah hukum alam harus terjadi, “jatuh pasti menimbulkan rasa sakit”. Ternyata kali ini saya belum siap menerima rasa sakit itu, saya masih kalah.

Harapan agar teman baik tidak menyepelekan waktu yang sudah dijanjikan, harapan agar project bisa berjalan sesuai dengan rencana dan kesepakatan bersama, harapan agar semua pihak yang berkepentingan bisa saling mendukung bukan saling judging atau saling menjatuhkan, harapan agar orang lain ingat dan sadar dengan tanggung jawabnya dan tidak melemparkan tanggung jawabnya itu seenak hati, harapan agar semua orang bisa berkata jujur dan tidak memandang sebelah mata, nyatanya semua harapan berubah menjadi rasa kecewa, dan saya pun marah.

Dari semua kekecewaan itu, saya paling marah dengan situasi dimana saya menjadi orang paling terakhir yang mengetahui bahwa apa yang sedang saya lakukan tidak berjalan sesuai rencana dan kesepakatan sebelumnya. Saya kecewa dan marah karena objek dari hal tersebut berhubungan langsung dengan saya. Begitu banyak hal yang disembunyikan, begitu banyak ketidakjujuran yang terjadi, apalagi saya kalah taruhan.

Kalah taruhan adalah persoalan lain. Anggap saja pemanis dari semua bentuk kekecewaan yang saya alami. Saya yang masih menyimpan harapan ditantang oleh pihak yang sudah merasa akan pasti mengalami kekecewaan seperti yang dia alami sebelumnya, meskipun dia mengatakan masih memiliki sedikit harapan. Bertaruh bukan merupakan hal baru untuk saya tetapi saya bukan orang yang suka menggunakan uang untuk bertaruh. Kali ini taruhannya adalah segelas kopi Starbucks, plus dengan croissant sebagai pelengkap 🙂

sbux

Singkat cerita, saya kalah. Saya harus merelakan harapan saya dikalahkan dengan kenyataan yang terjadi. Saya yang harus membayar orderan di Starbucks, dan lucunya saya menemukan orang yang menyukai jenis kopi Starbucks persis seperti yang saya suka. Caramel frapucinno without whipped cream. Less ice and less sugar. Jangan lupa untuk menaburkan bubuk cokelat dan bubuk kayu manis di atasnya. Sejak mengenal Starbucks, saya hanya memesan jenis blended coffee ini, dan saya dianggap aneh oleh teman-teman saya (dulu) karena lebih senang taburan cokelat dan kayu manis daripada whipped cream. Ternyata saya menemukan orang yang sama anehnya dengan saya meskipun golongan darah saya bukan AB. LOL.

Starbucks hanya pemanis. Saya tetap kecewa dan mulai merasa marah dengan kenyataan yang terjadi di balik kekalahan saya tetapi saya berusaha untuk nrimo dan mencari hikmahnya. Belajar untuk menerima. Belajar untuk merelakan. Belajar untuk selalu bersyukur dalam segala kondisi, sesulit apapun itu.

Belum lagi karena persoalan lain, ketika saya harus dihadapkan dengan pihak-pihak yang rela melakukan segala sesuatu hanya untuk kenyamanannya sendiri, termasuk melakukan psychological warfare atau psywar. Seperti kata Dewa 19, “hadapi dengan senyuman”. Tidak berhenti sampai disitu, saya juga harus rela berhadapan dengan pihak yang melemparkan tanggung jawab dengan mudahnya. I apologize in advance (to all of you) but I really hate kind of this people. If you can’t do the responsibility then you shouldn’t accept it. It’s better to leave it than you throw it to someone else. How could you be responsible for yourself if you can’t be responsible for the things that have been entrusted to you? Well, status di BBM saya ditujukan untuk pihak-pihak seperti itu.

Seharusnya saya tidak ngopi lagi sejak memiliki penyakit maag akut dan sudah pernah mengalami GERD, tetapi saya merasa caramel frapucinno Starbucks adalah teman saya untuk sementara ini. Bagaimana dengan teh? Ah, itu sih tidak boleh ditinggalkan apalagi dilupakan.

Happy Friday! Semoga tidak ada yang lagi emosi seperti saya saat ini 😀

Featured image via Google.

Rgds,

Ws 😉

12 comments

    • So far kadar emosiku sudah mulai menurun tapi belum 100% si hahaha.. Lagi mencoba kontrol anger managementku sendiri, meskipun jarang muncul tapi aku benaran engga suka harus dilingkupi dengan emosi seperti ini. Hugs to you too Geee…

      Like

  1. Kalau emosi, emang harus dikeluarkan. Ga harus ke orangnya langsung, di blog juga okelah. Soalnya kalo ga dikeluarkan, ntar jadi jerawat. Refotttt. Hahaha

    Like

    • Hai Win, sorry baru sempat balas. Kalau aku engga boleh diam Win, hatinya berasa panas hahaha.. Aku sebenarnya jarang marah karena orangnya cenderung “cuek”. Sekalinya marah yah jadi kayak kompor meleduk, haha

      Like

  2. Nggak terlalu paham apa persoalannya…tapi semoga bisa melaluinya…
    saya kalau mulai bergejolak mengusahakan trik2 spt tidur atau minimal posisi kepala lebih rendah, cuci muka, sampai tapping…..lumayan mengalihkan….

    Like

Thank you for your comments